Sabtu, 10 Mei 2014

perang sulawesi


Setelah Perang Dunia II, hampir semua kekuatan besar penjajah menghadapi perlawanan dari wilayah-wilayah koloni mereka. Perlawanan ini bersifat terus-menerus dan terorganisir, melibatkan sejumlah besar kelompok militer dan sipil bersenjata.

Sebuah gerilya rakyat, diinspirasi politik perlawanan yang memanfaatkan segala sarana. Hal itu juga terjadi di Nederlands-Indiƫ. Selama pendudukan oleh Jepang (1942-1945), orang-orang kulit putih Belanda dijebloskan ke kamp-kamp tahanan.

Pemandangan seperti itu membangkitkan rasa percaya diri dan nasionalisme, terutama di kalangan pemuda di Jawa. Radikalisasi dan perlawanan mereka meningkat saat Belanda mau kembali mengambil alih kekuasaan, setelah kapitulasi Jepang.

Antara lain berkat tekanan para pemuda ini Soekarno akhirnya memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena Belanda seusai Perang Dunia II tidak cukup memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan militer, maka para pemuda berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatra.

Perkembangan itu cepat menyebar dan semangat merdeka semakin meluas sampai ke Celebes. Ketika pasukan sekutu secara resmi menyerahkan kembali pemerintahan di Celebes kepada Belanda pada 13 Juli 1946, maka Belanda menghadapi perlawanan hebat dari rakyat.

Ratusan pejuang kemerdekaan dari Jawa masuk ke Celebes dengan menyelundupkan sejumlah besar senjata, untuk membantu saudara-saudara mereka di Celebes melawan Belanda.

Menurut versi Belanda, pasukan pejuang yang sebagian besar pemuda itu sangat fanatik dan tidak kenal ampun. Mereka membunuh, merampok, dan membakar, tidak hanya pada target-target Belanda tetapi juga orang-orang setempat yang bekerjasama dengan Belanda.

Selama 1946, situasi semakin tidak terkendali terutama di Zuid-Celebes (Sulawesi Selatan). Yang membuat situasi semakin runyam adalah kenyataan bahwa perlawanan para pejuang itu campur aduk dengan kelompok-kelompok yang saling bersaing satu sama lain, termasuk kelompok-kelompok kriminal (perampok).

Secara total antara Juni 1946 hingga Juli 1947 dipastikan 1210 orang Belanda terbunuh.
Kutipan dari laporan Van Rij/Stam menyebutkan:
“Het Badjengse Duizendpotenleger (Tentara Lipan Badjeng) beraksi di Makassar, Goa, Takalar dan Djeneponto. Berdasarkan buku catatan satuan tentara ini yang ditemukan saat operasi militer, ternyata bahwa satuan ini dalam beberapa bulan telah membunuh 309 orang musuh. Semuanya orang setempat yang dianggap sebagai kaki tangan Belanda.

Selain Lipan Badjeng, di Makasar juga ada kelompok De Rode Mier (Semoet Merah), yang spesialisasinya adalah melakukan bumi hangus, membunuh dan menculik. Pada September 1946 mereka membunuh Gelarang van Pantjambeang bersama keluarga dan para pengikutnya saat dalam perjalanan ke Malino.

Di kampung Kandjilo ditemukan sebuah sumur dengan 80 kepala manusia. Di Tolo, menurut penuturan Djannang van Parigi, sebanyak 20 orang disembelih layaknya kerbau, dan mayat mereka dibuang ke sungai. Prosesinya, para korban diletakkan di tanah dan dipegang, lalu lehernya dipotong dengan badik.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar